part 1 -Pemberhentian temu-

Bising kendaraan dijalanan pagi ini benar-benar hiruk pikuk. Suara klakson dimana-mana. Saling sahut menyahut. Aku tidak tahu, kenapa perasaanku tidak enak rasanya. Aku terbiasa berangkat ke kantor saat jalanan masih lengang. Saat udara masih belum berbaur dengan gas-gas beracun. Saat daun-daun masih kudapati berembun. Tapi hari ini aku sudah terlambat 10 menit. Aku berlari tergopoh-gopoh sambil memegang tas silver yang sudah sejak tadi tergantung disebelah kiri bahuku.  Sepatu tanpa tumit adalah pilihan terbaik dalam keadaan terdesak seperti ini.

Dari kejauhan ku lihat halte nampaknya sedang tak ramai. Hanya ada 2 orang perempuan dan satu lelaki yang sedang menunggu. Ku putuskan mempercepat jalan karena sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk tawar menawar lagi.

Berjarak satu meter dari halte. Aku merasa melihat sesuatu yang ganjal disana. Ah, tidak mungkin. Ini pasti hanya ilusiku. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Yang aku fikirkan  hanyalah bagaimana aku bisa sampai ke kantor dengan satu loncatan saja.

Berhenti dijarak satu meter. Aku memutuskan menilik lelaki itu lebih dalam dulu. Ku sorotkan mataku dari ujung rambut hingga kakinya. Deg.

"Taxi!" ucapku sambil melambaikan tangan.
Taxi cepat bawa aku lari dari sini, batinku.

"Rumah sakit Ibnu Sina, Pak" kataku segera. Tanpa perlu lagi melirik kaca spion. Tanpa perlu lagi melihatnya dengan jarak dekat. Semua sudah jelas. Degup itu sudah menjelaskan. Degup yang kembali ada setelah 5 tahun ku kubur paksa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambisi

Mati

Menulis itu?