Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

30 DWC dan Menulis Ala Gue

Beberapa tahun belakangan ini dunia kepenulisan semakin sering saya jajahi. Kira-kira sudah berapa kelas menulis ya yang saya ikuti? Lumayan sih, lumayan nguras saku anak mahasiswi wkwk. Maaf jadi curhat. Hari terakhir tantangan boleh dong ya nulisnya agak bebas dikit. Kan judulnya Menulis Ala Gue. Jadi  30 DWC ini kayak membangun habbit biar nulisnya bisa tiap hari. Karena menggunakan sistem poin gitu. Sebenarnya sih kurang apa ya bagi saya. Soalnya kadang-kadang nulis itu cuma buat ngejar poin. Bukan kebiasaan. Tapi entahlah, namanya manusia selalu harus diberi award dulu biar semangat buat ngelakuin sesuatu. Lucu dan gregetan sih kalau ngebayangin lika-liku perjalanan nulis saya. Dari yang awalnya nulis tentang cinta, sekarang lebih senang nulis tentang pemaknaan hidup. Mungkin dulu karena lagi galau-galaunya kali. Dan sekarang? Alhamdulillah nggak galau lagi. Padatnya aktifitas jadi ngalihin pikiran soal cinta menye-menye itu. Apa yang kita tulis adalah cerminan dari apa yang ki

Sepakat

Kita pun berangkat dari cara yang sama. Dari kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Dari pertengkaran. Dari pencapaian-pencapaian kecil. Dari rasa takut. Hingga dari obrolan ringan. Kini, kita bertumbuh menjadi sesuatu yang selama ini tak pernah kita pikirkan. Kita menjelma menjadi sosok yang lebih pendengar. Rasanya sudah banyak sekali yang berubah. Pola pikir kita, tingkah kita, hingga tujuan kita di dalam hidup juga sudah berubah . Dulu, kamu bilang setiap kehidupan selalu ada fasenya. Adakalanya kita berada di fase atas, atau malah berada di fase bawah. Kamu bilang, kita tidak bisa memilih. Tetapi kita bisa mengambil bagian untuk menyikapi fase itu seperti apa. Kita pernah bersepakat, bahwa kehidupan tidak pernah lepas dari rentetan hikmah. Sepotong peristiwa tidak pernah hadir tanpa ada kebaikan yang menempel di dalamnya. Kita pernah bersepakat, bahwa apapun bentuk kesedihan bukan datang dengan maksud hanya membuat sedih. Lebih dari itu. Ada rasa bahagia yang diselipkan. Beberapa

Alasan

Bagi saya melakukan suatu kegiatan itu harus tahu alasannya. Kenapa kita harus melakukan itu. Karena kita tidak akan bisa bertahan sampai akhir. Kerikil-kerikil perjalanan akan membuat kita terhambat dan berhenti di tengah jalan. Sebenarnya ini hanya sebuah kerikil, kenapa harus takut? Ya, begitulah. Daya kita terlalu kecil untuk ini. Kita tidak punya strong why yang orang lain punya. Kita hanya menjadi generasi ikut-ikutan. Seperti orang-orang bilang, hijrah itu mudah. Yang sulit istiqamah. Ya, menurut  saya itu benar sekali. Kita bertahan dengan sesuatu itu karena kita tahu alasannya kenapa kita bertahan. Maka mulailah mempertanyakan kenapa kita melakukan A, kenapa kita melakukan B, dan lainnya. Sebab setiap alasan akan jadi penguat kita diperjalanan. Perjalanan yang mungkin akan memberatkan. Perjalanan yang mungkin akan sedikit panjang.

Sekolah

Berbicara tentang sekolah. Berarti berbicara tentang belajar. Sekolah bukan hanya sebuah gedung yang berisi siswa dan guru. Lebih dari itu sekolah bisa didapatkan kapan dan di mana saja. Setiap peristiwa, setiap tempat, setiap kegiatan, apapun itu, bisa menjadi tempat belajar untuk kita. Setiap hari waktu yang kita punya selama 24 jam sepertinya cukup memberi kita banyak pelajaran. Pelajaran-pelajaran itulah yang akan membentuk banyak dari karakter kita. Cara setiap orang dalam menghadapi permasalahan adalah cerminan dari banyaknya ia belajar. Semakin lihai ia, berarti semakin banyak pembelajaran yang ia hadapi. Bersyukur memang ketika Allah hadapkan kita dengan berbagai peristiwa. Mungkin peristiwa itu nggak menyenangkan tapi berkat peristiwa itulah kita bisa tumbuh menjadi seseorang yang luar biasa.

Berjuang

Seandainya kita tahu, bahwa setiap jalan itu selalu ada rintangannya. Maka segala keluh seharusnya sudah menjadi konsekuensinya. Kita tidak bisa menghindarkan bagian itu dalam hidup. Ia akan terus hidup berdampingan. Sebab itu, menyerah akan menjadi hal aneh ketika kita belum juga berhasil dalam suatu perjuangan. Karena banyak hal yang harus dilewati. Semakin besar yang kita perjuangkan semakin besar pula rintangannya. Sebagaimana dulu yang hanya kita tahu bagaimana bisa makan tepat waktu, pulang sekolah tidak kesorean, menyelasaikan PR dimalam hari, dan tidur dibawah pukul sepuluh malam. Hal-hal seperti itu saja dulu rasanya cukup berat untuk kita jalani. Sekarang, semua jauh berubah. Bagaimana uang dua puluh ribu itu bisa kita pakai untuk makan selama tiga hari. Menyelesaikan beberapa deadline tugas dalam satu malam. Menahan rasa kantuk di dalam kelas karena semalam tidur sudah terlalu larut. Bagaimana uang yang orang tua kirim sekali satu bulan itu cukup untuk memenuhi segala ke

Guru

Dulu, saat umur saya masih berbilang kecil. Saya tidak terlalu tertarik saat mendengar kata Guru. Bagi saya guru itu profesi biasa saja. Saya lebih mengagung-agungkan dokter, polisi, pilot dan pekerjaan bergengsi lainnya. Namun, beberapa tahun setelah itu saya mulai sadar. Baju berwarna kecoklatan yang sering Ibu pakai. Tumpukan buku yang sering ibu bawa pulang, dan sepatu kulit dengan sedikit tumit. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan ibu yang selama ini aku anggap remeh. “Nak, Ibu sering menagatakan kepada murid ibu bahwa sholat adalah hal utama yang tak boleh kita tinggalkan. Saat dunia pendidikan semakin kacau balau begini. Semoga sholat itu yang bisa mengubah kekacauan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat pada hari kemudian.” Ucap ibu saat aku mulai suka menunda-nunda sholat.  Ibu sering bercerita bahwa di sekolah ia sering sekali berceloteh kepada muridnya tentang banyak hal. Ibu yakin, mendidik itu bukan hanya perihal akademik. Bukan hanya hasil yang bisa diuk

Berproses

Berproses berarti belajar menerima rasa sakit dan kegagalan. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Siap merasakan jatuh bangun. Berani melawan badai yang terkadang tidak tahu dari mana asalnya. Jika terasa berat, semoga alasan kenapa kita mau menjalani proses itu cukup kuat untuk melawan rasa berat yang tengah dihadapi. Pengorbanan sana-sini yang kerap kali harus kita agungkan supaya hati kita merasa bahagia;sadar bahwa ada sesuatu yang sedang kita perjuangkan. Tak hanya mengandalkan usaha. Kita perlu jejeran do'a-do'a yang siap dilangitkan setiap harinya.

Belajar dan mengajar

Hidup tak pernah lepas dari dua hal tersebut. Kalau kita tidak sedang belajar berarti kita sedang mengajar. Kita punya deretan mimpi yang ingin dicapai. Setiap hari kita mengahbiskan banyak waktu untuk mencapai impian tersebut. Berawal daripada seorang siswa, berlanjut menjadi mahasiswa, berakhir menjadi seorang sarjana. Dan hari ini, kita lalu disibukkan dengan setumpuk pekerjaan. Pekerjaan yang rasanya tidak pernah selesai. Hingga kita lupa, bahwa belajar bukan hanya untuk itu, lebih dari itu. Belajar untuk bermanfaat. Saat kita belajar, kita harus siap menjadi sebuah wadah yang kosong. Dan kita jualah yang memilih memasukkan wadah itu dengan apa. Dengan hal baikkah atau sebaliknya. Dengan sesuatu yang bermanfaatkah atau sesuatu yang sia-sia. Pernahkah kita berfikir, karakter seseorang sebagian besar dibentuk ditempat dimana ia banyak belajar. Ditempat dimana ia banyak menghabiskan waktu. Maka carilah tempat belajar yang bisa membuatmu menjadi seseorang yang berguna di dunia mau

Zona nyaman

Semakin bertumbuh, semakin banyak pekerjaan orang dewasa yang kita kenal. Pekerjaan yang selama ini tak pernah terpikirkan bagi kita. Menjalani kehidupan ini yang semakin hari ternyata semakin berat. Pengalaman membentuk banyak dari karakter kita. Susah, senang, pahit, manis. Semua rasa itu berhasil menjadikan kita sebagai seseorang dengan jiwa yang baru. Zona nyaman terkadang melenakan. Mengikuti arus kehidupan tanpa pernah tahu bahwa kita sebenarnya mampu menjalankan kehidupan lebih baik dari itu. Namun zona nyaman membuat kita luput akan hal itu. Kesenangan dan kemudahan yang kita rasakan bukan karena kita menjalani sesuatu itu dengan baik. Tapi hanya karena kita sedang berada di zona nyaman, begitulah.

Aroma

Aku terlambat 5 menit. Kamu, yang sudah duduk di sudut tempat itu memilih tidak menoleh ke arahku. Aku mempercepat langkah. Tidak ingin kamu menunggu lebih lama lagi. Tanpa kamu persilahkan duduk, aku tetap menggeser bangku itu hingga sekarang aku sudah tepat berada di depanmu. Kamu melirik jam yang melingkar ditangan sambil memasang wajah agak sedikit masam. "Kamu sudah memesan?" tanyaku.  Kamu hanya mengangguk tanpa berbicara. Suasana begitu canggung. Tak lama kemudian seorang pelayan dari kejauhan terlihat berjalan mendekat ke arah meja kami. Ia membawa dua buah cangkir. Dari jarak satu meter aromanya sudah tercium jelas di hidungku;kopi. Iya, kopi. Minuman yang selalu menjadi favoritmu ketika marah. Ternyata, kamu belum juga bisa berubah. Setelah pertengkaran itu, sifat kekanakanmu malah semakin menjadi-jadi.

Nikmat

Jadi muhasabah banget sebenarnya, ketika Allah nguji rasa syukur kita dengan sedikit mengurangi nikmat yang selama ini udah kita punya. Kebayang nggak sih saat Allah ngujinya dengan sesuatu yang udah berusaha kita jaga. Laptop itu misalnya. Yah, tulisan ini sedikit curhat sih. Maklum, semuanyaaaaa ada di dalam laptop itu :( tiba-tiba nggak bisa hidup. Rasanya sebagian jiwaku ikut..... Ah, sudahlah. Ya Rabbi, sungguh dzalim hamba bersikap berlebihan seperti ini. Ini baru laptop, apalagi jika Allah ngujinya yang lain. Yang sangat berharga sebenarnya, tapi kita sering nggak sadar. Nikmat iman, mungkin. Kalau Allah ngujinya disitu gimana? Segalau ini ndak? Atau jangan-jangan malah nggak ngerasa apa-apa. Kalau Allah ngujinya nikmat islam gimana? Sesedih ini ndak? Atau jangan-jangan merasa baik-baik aja. Mau nangis, tapi malu sama Allah. Hal receh gini aja ditangisin. Terus saat sehari nggak kholas, tahajud ketiduran, duha kelewat kok biasa-biasa aja? Kok nggak nangis juga? Kan, bener d

Sifat

Setiap hari kita berjalan dari satu sisi ke sisi yg lain. Kita berpindah dari tempat satu ke tempat yang satunya lagi. Kita banyak menyaksikan berbagai peristiwa, bahkan tak jarang peristiwa itu kita yang alami. Kita berjumpa dengan berbagai watak dan karakter orang. Mengambil beberapa kesimpulan tentang mereka. Lalu memilih apakah akan tetap tinggal atau mencari tempat yang baru. Bertumbuh dan menetaplah bersama orang-orang yang mau memperjuangkan identitas dirinya;islam. Menetap bersama orang-orang yang mau menjaga batas-batas itu. Menjalani kehidupan sesuai perintah-Nya. Berada dilingkaran orang-orang seperti itu, mau tidak mau, lambat laun kita akan dipaksa mempunyai sikap yang sama seperti mereka. Pun, sebaliknya. Jika kita tengah berada dalam lingkarang orang yang bermudah-mudahan dalam maksiat. Mau tidak mau kita juga akan ikut terseret;tingkahnya hampir sama dengan mereka. Karena manusia cenderung mengadopsi sifat yang ada didekat mereka.

Menyendiri

Setiap orang butuh waktu untuk menyendiri. Sesekali mengingat pengalaman pahit itu. Biar tahu, ternyata kita pernah berada diposisi demikian. Posisi paling menjengkelkan, mungkin. Kalaupun nyatanya hingga hari ini pengalaman pahit itu tak kunjung hilang. Biarkan ia menetap beberapa saat lagi. Jangan terlalu sering mengusiknya. Menyendiri, memutar segala memori tentang banyak hal yang sudah dilewati Berat, sangat berat. Peristiwa itu banyak sekali. Satu-persatu diku mpulkan dalam sebuah kotak. Manatahu dimasa depan kelak aku butuh menengoknya kembali. Jauh, setelah hari ini. Setiap orang butuh waktu untuk menyendiri. Berbincang, berkeluh-kesah, mengadu dengan jiwanya sendiri. Bukan dengan orang lain. Kau pernah mencobanya? Beberapa kali disaat subuh, hening, butuh ketenangan. Lalu kau mulai membuka mulut. Membeberkan segala hal yang kau alami hari ini, dengan jiwamu sendiri. Menyendiri, membiarkan kesalahan-kesalahan itu menguap bersama waktu. Ditelan oleh kesibukan. Lalu bebas t