Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Di sabtu malam

Seusai sholat magrib,segera ku ambil sepatu sekolahku di ujung teras mesjid. Syukur tidak basah. Atap mesjid ternyata berbaik hati menutupi sepatuku. Hujan diluar begitu deras. Seperti tak mau untuk berhenti. Ku putuskan mengambil posisi duduk di dekat dinding. Cacing diperutku sudah mulai berteriak  meminta umpan. beruntung,di tempat les tadi aku masih menyisakan beberapa gorengan yang ku beli. Setidaknya,ini bisa menutup mulut sicacing untuk sementara. Sambil menikmati gorengan,ku perhatikan disekeliling mesjid. Anak-anak mengaji berlari-berlarian. Ingatanku seakan dibawa kembali saat aku masih sesusia mereka. Melihat tawanya yang kian lepas. Aku iri. Seandainya sekarang aku masih bisa seperti mereka Mungkin,bahagia sekali.

Keledai tua

Jatuh,terhempas,tertelungkup Belati sudah sampai ke dadaku Menohok tajam ke hulu hati Mengoyak,mencabik Hingga pecah pembuluh darahku Ini negeriku? Serakan carut marut mereke pungut ke ujung jurang Satu persatu mereka kumpulkan Bentuk apalagi yang kau dustai? Terlanjur sudah menelusup ke jaringan ujung tombak dunia Lalu, setiap detik perjalanan merangkak menuju kenistaan

#lia 3

Nyatanya,bagiku semua berbalik 180 derajat. Tak ada secuil pun kebahagiaan yang hinggap dikala hujan. Bagiku hujan adalah tangisan para peri langit yang sedang dihukum tuhan. Atau setiap kali tuhan murka maka peri langit akan bersedih. Menghempaskan duka lara nya ke bumi. Tak kenal waktu, terkadang sehari,seminggu atau bahkan berbulan-bulan. Siapa yang peduli. Rasa-rasanya, saat satu persatu titik hujan turun menghantam tanah. Saat itu hatiku juga ikut pula dihantam nya tanpa ampun. Sakit. Rintik-rintik nya yang terdengar indah bagi kalian. Terasa amat memekakkan untuk telingaku. Sekujur tubuh ku dipenuhi memar. Seperti sehabis dipukuli khalayak ramai.  Nyatanya ini semua karna kau,hujan! Darah ku terasa tak lagi mengalir. Tulangku ngilu. Tubuhku makin lama makin beku.  Dingin? Tidak. Bukan dingin nya hujan yang membuat ku begini. Tapi keadaan saat gumpalan-gumpalan air itu menyentuh bumi. Itu mengerikan. Seluruh bumi basah. Seluruh bumi berair. Hingga esok datang,aku masih seperti

#lia 2

Kilau cahaya matahari perlahan-lahan menembus kelopak mataku memaksanya terbuka. Masih setengah sadar,ku perhatikan setiap sudut tempat keberadaanku. Sepertinya tak asing. Aku masih ditempat yang sama. Samar-samar ku lihat sosok lelaki tua,memakai baju lusuh,dengan tangan kiri memegang sebuah sapu lidi. Ia nampak keheranan menatap ke arah ku. Tiba-tiba saja ia berlari,mendekat. Lalu seluruh badanku serasa berada diawang-awang. Yang terdengar hanya suara kaki berlari-lari kecil. Setelah itu semua gelap. Aku tak sadarkan diri. **** Diluar hujan masih deras. Beruntung,aku sudah naik metromini sebelum hujan  mengguyur ke bumi. Meski jarum jam masih menunjukkan pukul dua,namun langit terlihat amat gelap. Seperti sudah merangkak lamat-lamat menuju malam.Diatas metromini aku sibuk menepuk-nepuk baju sekolahku yang terasa lembab. Dingin,sesak. Orang-orang yang naik metromini lebih ramai dari biasanya. Apalagi ini adalah jam-jam karyawan pulang kantor. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Bau-b

Lia

          Entah sudah minggu ke berapa, aku masih saja terjebak di dalam gubuk kumuh yang menjijikkan. Andai saja aku terlahir diempat musim,mungkin nasib ku takkan seburuk ini. Aku benci,semenjak butir bening itu mulai berjatuhan ke bumi. Aku dipaksa secepat kilat mencari tempat,menghindar. Tak peduli sehancur apa tempat itu. Lalu,kenapa manusia-manusia aneh itu malah seringkali menunggu saat seperti ini? Saat hujan mulai menyerbu membasahi tanah.      Si-Ldr yang tiba-tiba merindui pujaannya. Amat rindu. Kata mereka, diakala hujan kita akan merindukan seseorang 1000kali lebih kuat dari biasanya. Atau sepasang kekasih yang memadu kasih menunggui hujan reda. Mereka duduk bersitatap lalu saling memberi kehangatan. Sesaat kemudian mereka memandang setiap tetes hujan yang turun,lalu mencoba menghitungnya. Bertanya-tanya sudahkah sebanyak ini perasaanku pada seseorang yamg sedari tadi duduk disampingku? Lalu,mereka kembali bersitatap dan salah satu dari mereka berucap "aku mencintaim

Gadis itu

Aku ini gadis penakut. Gadis yang lebih memilih bersembunyi dibalik kayu rapuh, di dalam ruang gelap tak berpenghuni. Ia lebih nyaman di ruangan itu,tanpa siapa-siapa. Hanya ia dan suara gema nya yang tersisa. Gadis itu tak pernah siap untuk keluar. Jangankan keluar,untuk mengintip saja ia gemetar. Mengucur peluh dinginnya. Sampai hari itu datang,ia takkan bergerak kemanapun. Bahkan ia berharap hari itu musnah,tak pernah ada. Ah,apa yang sebenarnya ia takutkan?

Coba pikirkan?

Pernah nggak sewaktu-waktu di suatu senja kamu tiba-tiba berfikir sesuatu yang selama ini kamu anggap bukan hal sepele, namun kamu malah cenderung bermain dalam hal tersebut Pernah nggak kamu merasa takut akan sesuatu yang sebenarnya tidak benar2 berpengaruh dalam hidupmu? Pernah nggak kamu biasa aja saat sesungguhnya keadaan amat mendesak? Atau pernah nggak kamu masih ragu untuk mengambil keputusan itu,yang padahal kamu sudah yakin keputusan itu benar? Manusia memang sering salah mengambil sikap terhadap sesuatu yang terjadi di kehidupannya. Entah itu karena merasa paling benar,atau tergesa-gesa,atau bahkan karena memang ia sebenarnya tidak tahu harus bersikap seperti apa? Sungguh,disini sejatinya kita diajarkan bahwa dalam hidup itu kita tak hanya bersepakat dengan diri sendiri. Tetapi,terlebih dahulu kita harus bersepakat dengan-Nya. Pemilik mutlak diri ini.