Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2016

Luka

Ada luka yang ingin kau semayamkan padaku. Gigil mendingin tanganku saat tahu bahwa ada hati lain sedang kau tuju. Dipersimpangan senja itu, kau pernah berteriak padaku. Berteriak atas perasaanmu. Ingatkah? Lalu, riuh angin tiba-tiba saja mengendapkan suaramu. Hingga aku tak mendengar semuanya dengan jelas. Yang kulihat hanya gerak-gerik bibirmu yang lebar. Berulang-ulang kau menyuruhku untuk tetap berdiri disini. Padahal hujan sudah mengguyurku terlalu deras. Aku sudah kuyup. Lagi-lagi aku menggigil. Segeralah berlari ke arahku. Atau aku harus menunggu hujan reda? Ternyata sebelum hujan itu reda, tubuhku sudah membeku kaku sekaligus perasaanku

Akhir

Aku tahu, ada rasa sakit yang sekarang sedang kau otak-atik untuk kau beri perban. Luka sayatan yang seringkali ku beri untukmu. Yang selalu kau terima tanpa keluh. Kau tahu, perasaan kita sama bukan?. Sayangnya, kunang-kunang itu tak pernah muncul. Kunang-kunang yang menjadi tanda keelokkan hubungan ini. Sampai pada titik bahwa tak ada yang mesti dilanjutkan. Kita berakhir. Pergilah. Pergilah dan jangan beritahu aku kapan kau kembali. Berbaliklah. Berbaliklah saat kau sudah yakin bahwa aku takkan pernah lagi menjadi seorang pemberi luka. Berbaliklah saat kau sudah sadar bahwa cinta dalam doa bukanlah hanya sekedar saling berbicara bahkan pertemuan. Cinta dalam do'a ku adalah diamku untukmu. Setelah semuanya, semoga kau jauh lebih bijaksana. Bahwa ketaatan itu segalanya.

Pupus

Tak ada lagi jalan yang bisa ku buka untukmu. Rapat sudah ku tutup semua. Ku beri perekat paling elok di negeri ini. Bukankah ini ingin kita berdua? Kau tahu, aku sudah menyelam tanpa peduli bahwa aku tak bisa berenang. Aku sudah memasak dengan kompor yang beberapa detik lagi akan meledak. Aku terbang, tanpa sadar bahwa aku tak punya sayap. Aku melakukannya. Agar kelak kau akan berfikir lagi untuk kembali. Berfikir lagi membeli tiner untuk menghilangkan perekat yang susah payah ku beri.

Bohong

Aku bohong. Aku bohong atas keadaan ini. Aku bohong bahwa aku baik-baik saja. Sekarang, kita berada dalam satu atap. Meski ramai, tapi aku tahu bahwa sekarang matamu sedang mencuri-curi posisi ku. Aku tahu ,bahwa kau tahu saat ini aku sedang memperhatikanmu. Saat pertama ujung rambutmu ku tengok. Sungguh, aku gemetar. Bahkan sampai aku membuat tulisan ini. Aku masih gemetar. Kau bohong. Kau bohong bahwa kau sudah melupakanku.

Datang

Kau nyaris seperti seekor kuda. Yang ketuk langkah kakinya, entah kenapa terdengar samar di telingaku. Aku ragu apakah benar kau akan menetap atau hanya singgah? Dari kejahuan, negeri seberang membawa berita bahwa kau sudah dekat. Aku terperanjat. Adakah hati yang siap mengoyak (kembali) luka lama?

persimpangan

Kau pengusik senja yang selalu ku buai Menyayat rintik hujan yang sering mengaduk rinduku Sayangnya, tak ku dengar lagi riak air Yang kemaren sore kau suguhkan Mataku terlalu redup melirikmu Bumi ini sudah tua untuk tahu syahdunya rasa yang selama ini kita sulam Dua daun telinga gajah beriringan mengikuti asa ku Mengulik lewat jalan raya yang beberapa kilometer telah kita tempuh