Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2016

Lagi-lagi luka

Aku menikmati luka-luka berkepanjangan yang ia tanamkan. Luka itu sudah ku piyuh hingga mengering tanpa terik bola kuning yang menggantung di cakrawala. Ku biarkan ia tergeletak pasrah. Awalnya ku fikir ini hanya luka biasa. Luka-luka kecil yang sering bertaburan pada anak yang belum tau apa-apa. Tapi makin hari ke hari luka itu makin mengeruyak basah berlendir. Hingga tiada yang mau menyentuhnya. Bahkan aku sendiri.

Pulanglah

Ada rindu yang sedang ku tabahkan. Setiap kali, setiap hari. Merangkak menuju malam. Sia-sia. memperkarakan rasa. Lupa. Aku lupa. Perihal sisa-sisa kepergianmu. Masih berserakan di depan kamar ku. Perihal dongeng masalalu kita. Masih menjadi tanda tanya. Menggantung di langit-langit lorong rumah (kita).

Kau

Kau adalah sepi yang ku nanti diantara rentetan panjang pagiku. Melebur dalam fikiranku yang sesak oleh senyum mu. Kau adalah ramai yang selalu datang pada pertengahan mimpiku. Membungkamkan hati yang sebentar lagi ingin ku tinggali. Padamu, ku toreh rasa yang mungkin masih tersisa. Ku gali nyata yang sempat pudar karena khayal. Ku biarkan saja wajahmu menari-nari di otakku.  Mengelilingi setiap jengakal sel yang ada di dalamnya. Terserah mau ku apakan kegaduhan itu. Yang jelas aku takkan melenyapkannya. Padamu, ku titip sebab yang membuatku menyukaimu. Memberitahu mu bahwa rasa ini bukan sekedar ada untuk dibiarkan saja. Aku harus memeluk lutut setiap kali merinduimu. Kau tahu sesulit apa menahan rindu bukan?

Minta maaf

Aku minta maaf atas jalan panjang yang ku buat lalu tiba-tiba ku tinggali. Beberapa kilometer yang sudah ada itu, bukan berarti aku tak peduli. Seringkali jejak-jejak kaki ku disana menyorot pikiranku. Apakah kau akan baik-baik saja tanpa jejak kaki itu? Atau kau akan berfikir untuk keluar dari jalan itu. Aku sudah menunjukimu selama perjalanan. Apa saja yang mesti kau lakukan agar akhirnya kau bisa menemuiku diujung jalan. Sebab, aku tahu tak mudah. Aku minta maaf tak menyelesaikan bacaan dongengku kala itu. Awalnya kita tak pernah berfikir untuk mendongeng terlalu dalam. Namun, keadaan menjeratku melakukannya. Bukan aku tapi kita. Kau sadar bukan pada pertengahan jalan aku tersentak? Aku menyadari bahwa jalan itu sudah mulai lari dari semestinya. Kau sendiri yang memperingatkanku. Setelah hari itu, selangkah demi selangkah aku mulai memberi jarak padamu. Memberi pengertian, untuk berhenti berjalan beriringan. Kau boleh duluan. Atau aku yang duluan. Itu lebih benar. Jika sudah

Benci

Kau boleh membenci ku sesuka. Benci dengan raut wajahku saat melihatmu. Aku sering mencuri-curi matamu untuk ku lukis pada selembar kertas kecil. Tanpa kau sadari, beberapa kali aku sudah melukisnya. Kau menyipit, kau terkejut, dan bentuk matamu yang paling ku suka ialah saat kau juga melihatku. Benci dengan senyumku saat merinduimu. Saat tengah malam, kau sering terjaga bukan? Karena hp mu selalu berdering karena ku hubungi. Entah rindu ini seperti apa. Aku benar-benar dipaksa untuk mengingat mu. Benci akan tawaku yang terlalu sering kau dengar. Aku selalu menyiapkan satu waktu setiap hari untuk kau menyimak tawaku. Benci saat marahku yang tiba-tiba meledak. Yang terkadang membuatmu jengkel. Tapi tetap saja kau merayuku. Dan, Benci saat aku bilang bahwa aku menyukaimu.

Sama saja

Bagiku sama saja. Mencintaimu atau tidak mencintaimu. Sebab, kita tidak bisa selalu beriringan. Kita tidak bisa ada satu sama lain. Kita tidak bisa menjadi dua orang dalam satu jiwa. Ada batas- batas yang harus kita jaga. Ada garis-garis yang tak boleh kita lewati. Jika kau ataupun aku memaksa saat ini juga. Aku kalah. Kau kalah. Kita sama-sama kalah atas indahnya jatuh cinta yang salah. Salah waktu. Atau bisa jadi salah orang. Apa ada yang menjamin kau akan mencintaiku hingga halal? Atau sebaliknya. Cinta manusia itu seperti perangai anak remaja. Mudah berubah.