Guru
Dulu, saat umur saya masih berbilang kecil. Saya tidak
terlalu tertarik saat mendengar kata Guru.
Bagi saya guru itu profesi biasa saja. Saya lebih mengagung-agungkan
dokter, polisi, pilot dan pekerjaan bergengsi lainnya.
Namun, beberapa tahun setelah itu saya mulai sadar. Baju berwarna
kecoklatan yang sering Ibu pakai. Tumpukan buku yang sering ibu bawa pulang,
dan sepatu kulit dengan sedikit tumit. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan
ibu yang selama ini aku anggap remeh.
“Nak, Ibu sering menagatakan kepada murid ibu bahwa sholat
adalah hal utama yang tak boleh kita tinggalkan. Saat dunia pendidikan semakin
kacau balau begini. Semoga sholat itu yang bisa mengubah kekacauan itu menjadi
sesuatu yang bermanfaat pada hari kemudian.” Ucap ibu saat aku mulai suka
menunda-nunda sholat.
Ibu sering bercerita bahwa di sekolah ia sering sekali
berceloteh kepada muridnya tentang banyak hal. Ibu yakin, mendidik itu bukan
hanya perihal akademik. Bukan hanya hasil yang bisa diukur dengan angka-angka. Lebih
dari itu, mendidik berarti mengubah. Mendidik berarti memahamkan. Mendidik berarti
mengabdi.
Ibu bilang, ia mencintai murid-muridnya seperti ia mencintai saya sebagai seorang anak. Ibu sangat ingin mereka tumbuh menjadi seseorang suatu saat nanti.
Saya jadi berpikir, akankah semua guru memiliki tujuan
demikian? Kalau memang iya, rasanya saya berdosa sekali pernah jengkel kepada
guru saya ketika SD. Saya merasa malu pernah membicarakan keburukan guru saya
ketika SMP. Dan saya seharusnya banyak berterimakasih kepada guru saya ketika
SMA.
Komentar
Posting Komentar