Part 4 -pemberhentian temu-

"Syifa!"
Panggil ayah saat aku sedang berselonjor di sudut teras rumah.
Entahlah, aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun hari ini. Meski sore ini terlalu sesak untuk ku lewati sendiri. Tak apa. Mungkin sesak lebih baik. Aku perlu mencerna kekikukkan ini dulu.

Yangkung tiba-tiba menghampiri ku. Bunyi tongkatnya yang khas mulai terdengar dekat di telingaku. Mungkin Yangkung heran kenapa aku tak menggubris panggilan ayah. Yangkung duduk diatas kursi rotan kesayangannya. Yangkung mendehem. Tetapi aku memilih tak menoleh. Untuk pertama kalinya, aku tak menghiraukan yangkung.

Mungkin kalian heran kenapa aku memanggil Yangkung, toh aku hidup di tanah Minang. Yangkung adalah panggilan kesayanganku kepada kakek. Dari lima bersaudara hanya aku yang paling dekat dengan yangkung dan hanya aku yang memanggil kakek dengan sebutan Yangkung. Entahlah apa sejarahnya, aku tak terlalu ingat. Yang aku ingat panggilan itu dimulai saat aku berusia 2 tahun.

"Dalam hidup, ada orang yang berjalan dengan langkah yang benar, tapi tanpa pegangan yang baik. Dan ada orang yang berjalan dengan langkah yang salah, tapi dengan pegangan yang baik. Dua-duanya adalah hal yang berbeda, Syifa."
Ucap Yangkung memecah keheningan. Setelah 15 menit tanpa suara, akhirnya Yangkung memulai pembicaraan. Dari kecil, Yangkung selalu mengajarkanku untuk berbagi. Entah itu hal bahagia atau kecewa. Kata Yangkung, berbagi itu berarti memberi. Bukankah Allah Maha Pemberi? Tentu Dia menyukai hamba-Nya yang juga suka memberi.

Aku hanya menunduk sambil memeluk lutut. Aku tidak tahu kemarahan ini untuk siapa. Untuk ayah. Untuk ibu. Untuk Yangkung atau Yangti. Aku tidak tahu. "Nak, kemarilah."
Yangkung menggeser sebuah kursi hingga kursi itu sekarang sudah berada di sampingya. Aku bangkit dari sudut teras dan berjalan mendekati Yangkung.
"Nak, Yangkung bukanlah orang yang hidup beberapa tahun saja. Sudah 67 tahun. Selama itu, satu hal yang Yangkung tahu. Bahwa Allah tidak akan pernah memberikan kabar buruk atas hidup hamba-Nya. Kita saja yang sering tidak tahu diri."
Mata Yangkung lekat memandang ke langit. Memperhatikan langit sore itu, seperti sedang melihat kebun anggur di depan rumah. Indah sekali.

Sekali lagi aku diam.
Pelupuk mataku terasa berat sekali. Rasa-rasanya ada yang ingin tumpah. Sebisa mungkin aku tahan. Yangkung selalu mengajariku untuk jadi perempuan yang tidak cengeng.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambisi

Mati

Menulis itu?