Nyatanya, jika kamu ingat-ingat lagi. Kekuatan yang selama ini buat kamu kuat dan bertahan hidup di muka bumi yang atmosfernya berubah-ubah setiap hari. Kadang bikin kamu bahagia, kadang bikin kamu sediiiiiiih banget. Kadang bikin ketawa, kadang bikin nangiiis sampai seharian.

Kekuatan itu ternyata adalah doa yang malam itu kamu ucapkan begitu tulus. Nggak ada orang yang tahu betapa sesaknya dadamu hari itu. Lalu diam-diam kamu bangun tengah malam. Ambil wudhu, dan bersimpuh di hadapan-Nya. Malam itu kamu pasrahin semuanya sama Allah. Kamu mohon sama Allah buat angkat rasa kecewa itu dan cabut ke akar akarnya. Nggak tahu lagi mau ngadu ke siapa. Akhirnya kamu nyerah, dan ngadu sama Allah. Ngadunya nggak ngomong apa-apa. Cuma nangiiiiiiiisss. Dan kamu ngebayangin waktu-waktu yang udah berlalu. Ya allah, ternyata banyak banget hal sia-sia yang kamu lakuin. Saat itu kamu malu, selama ini keterlaluan banget ngejauhin Allah. Tapi ya gimana, cuma Allah yang mau dengar masalahmu hari itu. Nggak ada yang lain, hanya Allah.

Akhirnya kamu sadar atas kesalahanmu. Kenapa selama ini kamu beri ruang terlalu besar untuk dunia di hatimu? Padahal kamu tahu konsekuensinya, bahwa kesenangan dunia nggak memberikan apa-apa kecuali keambisiusan. Yang bikin kamu egois, bikin kamu suka marah, bikin kamu jengkel aja ngeliat kebahagiaan orang, bikin kamu ngebanding-bandingin nikmat Allah. Padahal kamu tahu konsekuensinya, saat dunia kamu beri ruang sedikiiiit aja, maka ia akan minta terus, terus, dan terus. Sehingga kamu kehabisan energi dan tidak ada lagi ruang untuk Allah.

Kamu menyesal, dan berharap Allah mau maafkan kekhilafanmu. Benar begitu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambisi

Mati

Menulis itu?