Musuh atau malaikat

Sekuat tenaga isakan ini ku kendalikan,agar tak terdengar oleh siapapun di luar sana. Rasa-rasanya malam ini adalah malam terpajang sekaligus malam terberat bagiku. Hawa dingin malam ini terasa  amat mencengkam dari biasanya. Pelupuk mata ku tak mau berhenti menumpahkan cairan ini. Maka malam ini ku putuskan menangis sejadi-jadinya

"Sebentar lagi, ibu juga yang akan mengerjakan semuanya" ucap ibu malam itu saat aku sedang menyapu lantai rumah yang tidak terlalu kotor.
Biasanya semua pekerjaan rumah  memang ku lakukan di malam hari. Atau tidak ku selesaikan pagi-pagi sekali menjelang subuh. Tentu saja seperti itu. Dari pagi hingga sore aku berkutat di sekolah. Apalagi ini tahun ketiga ku di bangku SMA.

Terhitung 14 hari sebelum keberangkatanku. Kata-kata itu seolah menjadi tanda tanya besar. Apakah ibu berat hati melepasku kini? Ah, tak mungkin ia ingin selamanya aku tinggal dirumah ini-menjadi tukang pembersih rumah-astagfirullah pikiranku terlalu naif.

Baiklah biar aku mulai bercerita. Kalian hanya perlu menbaca dengan baik. Dan jangan terbawa oleh ceritaku. Cepat atau lambat kalian akan paham dimana posisi ibu ku sebenarnya?

Aku hidup di dalam keluarga yang cukup mampu (dulu). Saat umurku masih berbilang kecil,aku dan ketiga saudara ku diasuh oleh nenek dan menetap dirumahnya. Ibu sering di luar kota di tempat ayah bekerja. Oleh karena itu nenek adalah ibu kedua ku. Aku anak ke empat dari 5 bersaudara.  Si bjbungsu lahir saat aku mau menginjak bangku SMP.

saat kami mulai menetap dirumah sendiri. Aku tak ingat persis kapan pertama kali ibu menugasi ku menyapu lantai. Iya, tugas wajib ku. Sedangkan kakak perempuan ku ditugasi ibu mencuci piring (juga menjadi tugas wajib). Kalian tau kan tugas wajib itu bagaimana? Jika tidak dikerjakan,mau berantakan seperti apapun ibu takkan menyentuhnya sedikitpun.

Setahun kemudian,ibu tiba-tiba mengechange scedule kerja kami. Aku yang mencuci piring
dan kakakku yang menyapu lantai. Dengan alasan aku tak pernah bersih menyapu lantai . Nah,disinilah semua bermula. Saat aku mulai merasa di tirikan di rumah ini.

"Menyapu lantai tidak bersih,sekarang mencuci piring juga tidak becus" bentak ibu padaku sore itu. Ini bukan kali pertama ia menghardikku. Tapi acap kali dia ucapkan kalimat serupa.
Setiap kali ibu mengomel aku hanya diam,menunduk,dan mengelus dada. Iba hati rasanya. Segala yang aku kerjakan tak pernah benar di matanya.

"Kak sebernarnya aku ini anak siapa?" Kalimat itu meluncur begitu saja di bibirku. Saat kami sedang berdua di dalam kamar seperti ini,hasratku tak tak tahan menyanyai itu.
"Huss! Kamu ini bicara apa?" Dia melanjutkan kembali gerakan bolpoinnya yang sempat berhenti karena pertanyaanku.

"Waktu ibu hamil icha ibu minum ramuan penggugur kandungan. Agar ia tak jadi ada. Eh,ternyata yang maha kuasa berkehendak lain" satu kalimat yang tak pernah terlupa oleh ku. Saat ibu bercerita kepada saudaraku yang lain perihal ini. Ia tampak bangga menceritakannya,hingga si bungsu sering menertawaiku dengan kalimat tersebut.

Boleh jadi setiap malam aku selalu menangis memikirkannya. Terkadang aku iri melihat orang-orang yang bisa dekat dengan ibunya. Sekalipun aku tak pernah dipeluk,dicium,diberi kehangatan seperti anak-anak yang lain.

Hingga aku beranjak kelas 3 SMA. Saat kakak perempuanku sudah kuliah,semua pekerjaan rumah mutlak menjadi kewajibanku.
"Belum juga piring kotor ini di cuci?" Tanya ibu saat aku baru saja selesai mandi. Dari seminggu yang lalu aku memang selalu telat pulang. Di sekolah ada jadwal sekolah sore karena sudah mendekati UN.
"Icha baru pulang bu" jawabku lirih. Tapi ibu tak menanggapi. Watak ibu tak pernah berubah kepadaku. Bahkan saat aku sudah di penghujung SMA-yang seharusnya sibuk dengan belajar- ibu tetap saja tak mengidahkan alasanku. Tak ada tolerir baginya. Mau secapek apapun aku pulang sekolah. Semua pekerjaan ini memang mutlak harus aku yang mengerjakan. Berbahagialah kalian yang bisa beristirahat dengan nyaman dirumah. Bukan untukku. Di rumah segudang pekerjaan selalu menanti setiap hari
Pernah suatu ketika aku berada di titik paling jurang
"Kenapa lama sekali di sekolah? Memangnya apa saja yang kamu kerjaan disana? Lihat rumah ini. Berantakan sekali. Anak gadis macam apa kamu ini!" saat aku baru membuka sepatu ibu langsung mencerca ku. deg! dadaku tiba-tiba serasa di tekan. Kelelahan di sekolah bertambah berat ber ton-ton menghampiri tubuhku.
"Bu,icha sekarang kan sudah kelas 3. Icha pasti selalu telat pulang. Bukankah seterlambat apapun segalanya selalu icha selesaikan?" Jawabku sambil terisak pada ibu. Tangisku pecah lalu dengan tenaga yang tersisa aku berlari ke dalam kamar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ambisi

Mati

Januari 2018